Home »
Cerita Seks
» (CERITA DEWASA) Cerita Temanku Terbaru
(CERITA DEWASA) Cerita Temanku Terbaru
Written By Mr. Aas on Thursday 1 November 2012 | 03:43
Kubelokkan mobilku masuk ke halaman parkir gedung tua itu. Entah
kenapa bibirku seolah memaksaku untuk tersenyum lebar. Tapi, sesaat
kemudian aku tersadar… Terlalu banyak kenangan manis yang disimpan
gedung ini. “… Kangen ya sama sekolah ini.” Aku mengangguk dan
tersenyum pada Cherry yang duduk di sebelahku, seolah dia mengerti apa
yang aku pikirkan. Aku yakin sahabatku ini juga memikirkan hal yang
sama. Bagaimana pun kami menghabiskan 12 tahun masa SD hingga SMA di
sekolah yang sama. Cherry dan aku datang bersama ke bekas sekolah kami
hari itu karena keperluan kami masing-masing; Cherry harus melatih
anak-anak The Foxes (grup modern dance sekolahku) yang akan tampil di
kejuaraan dance akhir tahun, sementara aku datang untuk menemani Vany,
adikku, menonton sparring tim basket putri SMP. “Lu latian sampe jam
berapa?” tanyaku pada Cherry sambil keluar dari mobil. “Jam… 4an gitu
lah…” katanya sambil melirik arloji. “Kan latian mulai jam 2. Basket
sampe jam berapa?” “Mungkin sekitar jam 3… Gapapa ntar pulang bareng
aja,” jawabku. “Hah? Terus sejam…? OOHH!! DASAR LU!” ujar Cherry sambil
tertawa dan memukul lenganku. “Hahahaha… Udah lama tau ga di sekolah,”
jawabku sambil nyengir. “Ih… Mesum dasar. Belom pernah kan ya sama
Vany di sekolah? Dulu sama gue terus kan lu… Hehehe,” kata Cherry.
“Hehehe makanya…” Menonton sparring basket memang bukanlah satu-satunya
tujuanku datang ke sekolah ini. Aku ingin ML dengan Vany di gedung
sekolah ini! Aku ingin mengenalkan perasaan seru dan deg-degannya ML
bukan di rumah pada adikku. “Eh tapi lu jangan terlalu nafsu lah…
Kasian dia lagi hamil gede gitu masih lu hajar juga…” kata Cherry
perlahan saat kami berjalan masuk. “Iyaa… Lagian dianya yang tambah
nafsu tau,” kataku membela diri. Cherry nyengir. “Iya sih katanya emang
cewek hamil jadi tambah nafsu…” Ya, Vany, adikku yang berusia 15
tahun, memang sedang hamil. Vany mengandung anakku, kakaknya sendiri,
dan sekarang kandungannya sudah mencapai bulan kelima. Sejak bulan Juni
yang lalu hubunganku dengannya memang bergeser jauh dari selayaknya
hubungan kakak-adik; mulai dari saling menyentuh tubuh satu sama lain,
hingga akhirnya kami ML berkali-kali sebelum aku pindah untuk kuliah di
Singapore, dan akhirnya Vany hamil (baca episode 5). Dan entah kenapa,
menurutku Vany (yang pada dasarnya sudah sangat seksi untuk anak
seusianya) menjadi jauh lebih seksi saat ia hamil. Perutnya yang buncit
dan mulus selalu merangsangku, dan dadanya yang luar biasa montok dan
besar (34DD sekarang) bisa mengeluarkan susu yang manis sekarang.
Selain itu vaginanya menjadi lebih sempit dan hangat di bagian dalam,
di samping pantatnya yang menjadi semakin montok dan padat. Sungguh
luar biasa! “Hus! Tuh kan udah ngebayangin… Dasarrrr!” bisik Cherry
sambil mencolek bagian tengah celanaku yang sudah mulai menonjol. “Lu
ngapain sama dia tadi pagi?” Tadi pagi setelah aku puas meremas dan
menyedot susu dari dadanya yang montok, akhirnya Vany men-titf*ckku
dengan nikmat hingga aku meledakkan spermaku banyak-banyak di wajahnya.
Untung ia tidak telambat sampai di sekolah. “Duh… Susah dijelaskan
dengan kata-kata, Cher…” jawabku. Cherry menggelengkan kepalanya sambil
nyengir. Aku dan Cherry berjalan memasuki gedung SMA sekolah kami.
Saat itu jam pulang sekolah, sehingga situasi sangat ramai. Setelah
menyapa beberapa adik kelas yang mengenal kami, Cherry bergegas ke arah
tangga yang akan membawanya ke ruang latihan tari. “Oke sampe ketemu
ntar sore! Inget Dit jangan terlalu nafsu!” ujar Cherry mengatasi
keributan suara anak-anak. Aku melotot memperingatkan, tapi sahabatku
ini nyengir nakal, menjulurkan lidah, dan berjalan menjauh ke arah
tangga. Aku menggelengkan kepala sambil memperhatikannya pergi… Eh?
Sepertinya ada yang berbeda dari Cherry. Menyadari aku masih terpaku
menatapnya, sahabatku menoleh. “Hus! Jangan melototin pantat gue
terang-terangan gitu ah…” katanya perlahan sambil kembali berjalan
mendekat. Aku tertawa. “Haha… Nggak lah… Lu… Agak lain deh,” kataku
jujur. “Hm? Lain apanya?” “Gatau… Lu tambah berat ya?” tanyaku. Cherry
mengernyit. “Eehh kurang ajar ya…!” jawabnya gengsi. Tapi kemudian ia
tersenyum… Penuh arti. “Koq senyum gitu?” “Emang ga boleh? Eh udalah
gue udah mau telat ini!” ujarnya sambil melirik arloji lagi. Aku
nyengir dan meremas pantat sahabatku yang super montok. “Yaya… Sampe
ketemu ntar sore…” “Eh nakal ya tangannya!” bisiknya sambil berbalik
dan berlari menaiki tangga, memamerkan pantatnya yang bulat dan besar
di balik celana trainingnya yang merah terang. Aku tersenyum saat
memandangnya pergi… Tapi sungguh, sepertinya ada yang lain dari Cherry.
Hmm… Tak apalah. Aku berjalan perlahan ke arah gedung olahraga
sekolahku. Aku bisa mendengar suara decit sepatu para pemain dan sorakan
penonton, juga suara debam bola basket yang didribble oleh para
pemain. Pertandingan sudah dimulai rupanya. Gedung olahraga⎯saat sedang
dilangsungkan pertandingan di dalamnya⎯ selalu terasa panas dan
memberi ketegangan tersendiri saat dimasuki, begitu pula saat ini.
Masuk, aku menoleh ke kanan dan kiri, mencari Vany… Tidak sulit. Selain
karena perut buncitnya yang menyembul di balik kemeja putih seragam
SMPnya, jumlah penontonnya sedikit, dan Vany ternyata duduk di dekat
bangku cadangan tim sekolahku. Aku tersenyum. Tentu saja, Vany adalah
kapten tim basket putri SMP sebelum ia hamil. Raut muka adikku terlihat
sangat serius memperhatikan pertandingan. Aku menoleh ke papan skor;
quarter pertama, 12-10 untuk sekolahku. Ketat. Aku berjalan mendekat ke
arah Vany. Vany begitu berkonsentrasi pada pertandingan hingga tidak
menyadari saat aku duduk di sebelahnya. Aku melambai pada Tasya
(panggilan dari Natasha), adik Grace mantan pacarku dan salah satu
sahabat terbaik adikku, yang menyenggol lengan Vany dan mengangguk ke
arahku sambil tersenyum. Vany tersadar dan menoleh. “Eehh Kak… Aku ga
nyadar Kakak dateng!” ujarnya riang sambil nyengir. “Hahaha gapapa… Kamu
serius banget ngeliatin anak-anak,” kataku. “Iya… Musuhnya jadi jago
nih,” jawabnya serius, kembali melihat ke lapangan. Saat itu seorang
pemain sekolah lain memblok passing tim sekolahku dan menyetak angka 3
points. Vany merengut. “Passingnya.. Aduh… JESSICA KONSEN!!!” Vany
meneriaki seorang pemain sekolah kami yang tidak kukenal. Jessica
mengacungkan jempol ke arah kaptennya, tampak gugup. “Ini pertama kali
dia main dari awal sih…” kata Tasya di sebelah Vany. “Point Guard ya
dia?” tanyaku pada Vany sambil mengamati Jessica, cewek mungil,
kira-kira setinggi adikku, dengan rambut dikuncir ekor kuda. Adikku
mengangguk. “Dia yang gantiin aku jadi point guard. Kelas satu.” “Erika
mana?” tanyaku lagi. Aku kenal Erika; point guard cadangan Vany, kelas
2. “Keseleo kemaren pas latian,” jawab Tasya. “… Padahal kalo pas
latian keliatan gesit banget loh si Jessica ini,” kata Vany. Natasha
mengangguk, membetulkan kacamatanya. “Gesitnya sih sama kayak lu, Van,
tapi sering ga konsen… Terus belon begitu berani maennya. Ya masih kelas
satu sih… Ntar juga jadi jago,” katanya. Vany mengangguk setuju. Aku
pun menyadari bahwa Jessica bergerak sangat gesit, hanya ⎯ tidak seperti
Vany ⎯ operannya masih sering meleset dan mudah dibaca lawan. Aku
mengenal beberapa pemain basket tim putri SMP karena mereka adalah
teman-teman adikku. Agnes sang Center bertubuh tinggi besar baru saja
mencetak angka. Kedudukan sekarang 14-13. Aku nyengir menikmati
pertandingan ini. Sudah lama aku tidak menonton pertandingan basket
seperti ini. Kulirik Vany yang duduk tegang di sebelahku… Sepertinya ia
sudah lupa bahwa ia sedang hamil 5 bulan. “Van, santai dikit… Inget
kamu lagi hamil ga boleh tegang-tegang,” kataku pelan padanya. Vany
tersadar dan nyengir, mengelus lenganku dengan sayang dan mulai duduk
bersandar ke tembok. “Hehehe iya kalo udah seru nonton basket gini suka
lupa,” katanya sambil mengelus-elus perutnya yang buncit. Aku merasa
penisku mulai tegang, entah kenapa. Terdiam, menonton lagi. Aku
memperhatikan adikku… Kemejanya terlihat sangat sempit menahan dua
tonjolan montok dadanya, ditambah dengan perutnya yang buncit
menggiurkan. Aku melihat pundaknya… Hm? Biru muda? “Van, kamu pake BH
biru muda ya…” bisikku perlahan. Vany memukul lenganku sambil tertawa.
“Koq liat sih? Emang keliatan dari balik baju?” bisiknya balik. Aku
mengangguk, nyengir. “Yang tadi pagi putih basah ya…” “Kena susu sama
sperma! Kakak sih!” desis Vany sambil mencubit lenganku. Aku tertawa.
“Kamu seksi, Van…” “Hus! Kak…” * * * “Tapi bagaimana pun emang hebat
kan anak-anak…” “Iya sih… Cuma maennya bikin deg-degan tipis- tipis
gitu,” Aku dan Vany sedang berjalan perlahan menyusuri koridor dari
gedung olahraga menuju ke gedung utama sekolah kami. Pertandingan sudah
berakhir, dimenangi oleh SMP ku dengan skor tipis 38-34. Vany agak
bersungut-sungut dengan hasil ini, karena saat ia bermain dulu SMP kami
pernah membantai mereka 60-8. Benar-benar tidak diberi kesempatan.
“Udalah, Vann… Jangan bete gitu donk,” ujarku menghiburnya. “Hmm… Coba
aku maen,” katanya. Tiba-tiba ia geli sendiri dengan perkataannya dan
terkikik. “Ga mungkin ya… Hihihi…” “Dasar…” kataku. Vany menggamit
lenganku dan menyenderkan dirinya padaku dengan sayang. Kami berjalan
dalam diam perlahan menyusuri koridor sekolah, menuju ke lantai empat,
ke tempat Cherry latihan dance. Sambil berjalan, Vany membelai-belai
perutnya yang buncit; sungguh entah kenapa setiap kali aku melihatnya
melakukan itu ada rangsangan sangat besar yang menyerangku.
Sembunyi-sembunyi aku membetulkan penisku yang tegang di balik celana
jeansku. “Kita pulang sekarang?” tanya adikku setelah beberapa lama.
Aku menggeleng. “Nggak… Nunggu Cherry kelar latian MD,” jawabku. Vany
melirik arlojinya. “Jam?” “Empat…” “Loh ini baru jam 3 kurang… Kita
ngapain sejam?” tanyanya, polos. Ketika itu kami telah sampai di depan
kelas kosong di ujung koridor lantai empat yang dulu sering aku pakai
bersama Cherry sebagai tempat kami ML sepulang sekolah. Saat itu Vany
sepertinya mengerti, menatapku yang nyengir sambil menatapnya dengan
tatapan meminta. Vany menggelengkan kepala. “Dasar mesumm…” bisiknya.
Tapi ia menggandengku masuk ke kelas itu. Aku menutup pintu di
belakangku perlahan. Kelas ini tak memiliki jendela ke arah dalam,
hanya ke arah luar, itu pun agak tinggi di atas, karena ruang ini
sebenarnya adalah bekas gudang yang diubah menjadi kelas. Dan karena
terletak di ujung koridor dan agak jauh dari kelas-kelas yang lain,
maka mendesah sekencang apa pun akan agak susah terdengar. “Emang
gapapa, Kak di sini? Kalo ketauan orang gimana?” tanyanya. Aku
merangkul adikku. “Gapapa… Aman koq. Kakak udah pake kelas ini sejak
kelas 3 SMP,” jawabku. Vany terbahak dan memukul lenganku. “Sama Cherry
apa Grace?” “Pernah dua-duanya,” jawabku tenang. Vany tertawa lagi.
“Lebih sering sama Cherry kan pasti…” bisiknya. Aku tertawa dan
mengangguk. “Cherry lebih heboh,” kataku bercanda. “Tapi Tasya pernah
bilang katanya dulu pas Kakak ML di rumahnya, heboh banget MLnya sama
Grace,” kata Vany. Aku terkejut. “Natasha juga suka intipin Kakak sama
Grace??? Astagah kalian!” ujarku. Vany terbahak-bahak. “Kita pengen tau
lah, Kaaak…” jawabnya manja. “Ah si Tasya enak tuh udah bibirnya sama
seksinya sama Grace, diajarin langsung lagi. Aku kan cuma belajar dari
ngintip doank.” “Kamu juga udah hebat koq tapi, Van…” kataku. Vany
nyengir. “Kakak yakin ini aman?” tanyanya sekali lagi. Aku mengangguk,
meyakinkannya. Vany tersenyum, berjalan ke arah deretan meja yang ada
di tengah ruangan, dan menyenderkan dirinya ke salah satu meja. Posenya
seksi sekali; kedua tangannya bertumpu ke meja, tersenyum manis sekali
padaku. Aku berjalan perlahan ke arahnya, mendekatkan wajahku hingga
berjarak sangat dekat dengan wajahnya. Aku bisa merasakan nafasnya yang
agak tegang. “Kakak tuh… Nafsunya gede banget deh…” bisiknya. Ia
membelai wajahku lembut. Kami berciuman, lembut tapi penuh nafsu. Lidah
kami saling berbelit, berdecak memenuhi ruangan itu. Perlahan,
jemariku mulai merayap naik, meremas kedua dada adikku yang montok dan
penuh susu, menggosok dan memainkannya dengan nikmat. Aku merasakan
desahan mungil keluar dari mulut Vany, menikmati remasan dan
rangsanganku pada dadanya. “Mmh… Kak…” desahnya. Tangannya yang mungil
merogoh selangkanganku, mengelus tonjolan keras di baliknya. “Gede
banget…” “Kamu itu yang gede banget…” bisikku, terus menciumi leher
kurus adikku sambil meremas dadanya dengan lembut, beberapa kali
mengelus perut buncitnya yang keras. Vany menggelinjang tiap kali aku
menyentuh titik-titik tertentu yang merangsangnya; benar, adikku ini
lebih mudah terangsang saat ia hamil. Apa semua wanita hamil memang
seperti itu? Aku menegakkan badanku sedikit. Vany telah terduduk di atas
salah satu meja, sedikit terengah. Tangan kirinya menopang perutnya
yang buncit. Saat itu aku melihat bercak basah pada kemeja putih adikku,
tepat pada bagian puting susunya. Aku nyengir nakal. “Van… Kamu baru
digituin masa udah keluar susunya?” tanyaku menggodanya. “Aaa… Kakak kan
ngeremesnya heboh… Gimana ga keluar,” jawab Vany sedikit malu. Aku
tersenyum, membuka kancing kemejanya perlahan. Benar saja, BH biru muda
yang dikenakannya telah basah oleh susu. “Hmmmhhh… Vannnyy… Kamu seksi
banget, sayang…” kataku. Kubenamkan wajahku pada belahan dadanya yang
34 DD itu. Empuk dan lembut sekali. Aku merogoh ke belakang
punggungnya, membuka kancing dan melepas BH adikku. Aku mundur dan
terdiam sebentar. Tak pernah aku habis pikir bagaimana adikku bisa
memiliki payudara sebagus dan sebesar ini; putih mulus tanpa cacat
sedikit pun, montok dan sungguh bulat menantang. Putingnya coklat
kemerahan pun telah sangat tegang. Sekali lagi, aku membenamkan wajahku
dalam keempukannya. “Aah… Kak… Jangan buru-buru donk…” desahnya
perlahan. Kumainkan kedua putingnya perlahan-lahan dengan telunjukku,
membuatnya semakin kegilaan. Air susu sesekali menyemprot dan mengalir
dari putingnya. Kuremas dada adikku kencang-kencang sekali lagi hingga
susunya benar-benar menyemprot keluar. Vany menggelinjang dan mendesah
setiap kalinya. “Van… Kamu makhluk paling seksi yang pernah kakak
kenal,” bisikku. Vany tersenyum dan membelai rambutku, mengecup
keningku. Ku sedot putingnya bergantian, meminum susunya dengan nikmat,
sementara tanganku membelai perut hamilnya yang mulus. Penisku terasa
berdenyut-denyut, minta dibebaskan dari bekapan celana dalam yang
sempit. “Mmhh.. Nnhh.. Kaa… K… Jangan nafsu-nafsu minumnya… Ooh…” desah
Vany. Lidahku memainkan kedua putingnya, memelintirnya dan menyedot
setiap tetes yang keluar dari dalamnya. Rupanya Vany tidak tahan
dibegitukan. “Kakk… Kakk… Mmnnnhhh!!!!! Mmmhh!!!” Sejumlah besar susu
menyemprot ke dalam mulutku. Aku tahu Vany telah mencapai klimaksnya
yang pertama. Tanganku bergerak pelahan mengelus perutnya dan merogoh
ke selangkangannya… Benar saja; celana dalamnya telah basah kuyup.
“Ohh… K… Kakk…” desah adikku terbata. Aku mengecup bibirnya. “Lanjut
ya, sayang?” kataku. Vany mengangguk, tersenyum. Ciumanku bergerak dari
bibir ke rahang dan leher adikku, ke kedua dadanya yang super besar
dan lembut, hingga ke atas perutnya yang buncit. Kubelai lembut perut
adikku, mengecupnya sekali lagi dengan sayang. “Mmh… Perut kamu gede
tapi bagus banget, Van…” kataku. Vany tertawa. “Kakak demen banget ya
sama perutku? Padahal buncit gitu,” katanya imut. “Seksi tau…” jawabku
sungguh-sungguh. Vany nyengir. “Sini, Kak… Gantian!” Vany turun dari
meja dan perlahan berlutut di depanku. Ia membuka kancing dan
retsleting celana jeansku, membiarkannya jatuh ke lantai. Penisku yang
tegang langsung menyembul keluar dari balik celana dalamku, mengacung
tepat ke wajah adikku. Tanpa aba-aba, Vany langsung menyedotnya dengan
bersemangat. “Oohh Vann… Astagah.. Pelan-pelann…” “Mm… Cp… Kakak dabi
juga… Mmmhh.. Ga belan-belan… Mmmm… (Kakak tadi juga ga pelan-pelan)”
jawabnya dengan mulut penuh. Kepalanya bergerak maju-mundur mengulum
penisku. Lidahnya bergerak liar menjelajah bagian bawah penisku. Enak
sekali. “Mmmnnhh… Aahh.. Vann… Vanny…” desahku. Vany melepaskan penisku
dari mulutnya, membiarkannya jatuh di atas dadanya yang luar biasa
montok dan bulat. Ia mengangkat dadanya dengan kedua belah tangannya
dan mulai menjepit penisku di antara keduanya. Adikku ini memang
spesialis titf*ck. Belum pernah ada cewek lain yang seenak Vany
melakukannya. “Oohh.. Nnghh… Vann… Kamu emang paling enak…” erangku
keenakan. Vany nyengir sambil terus menggerakkan dadanya naik-turun,
meremas dan memijat penisku dalam keempukan dadanya. Rasanya aku memang
tak dapat bertahan lama dibeginikan. “Kalo diginiin gimana, Kak?” goda
Vany. Tangan kiri Vany menekankan perutnya yang buncit ke atas,
sementara tangan kanannya memegang dadanya dan menjepitkannya lebih erat
membungkus penisku. Ini luar biasa; sensasi lembut dan keras perut
hamilnya dipadu dengan empuknya dada adikku yang luar biasa besar. Tanpa
sadar aku menggerakkan pinggulku maju-mundur, menggosokkan penisku
semakin cepat. Aku tak tahan. “Nggghhh!! V… Vaan… VannnnNN!!!” Crott…
Crrroootttt…. Cccroottt… Spermaku seolah tak mau berhenti meledak,
melumuri wajah imut adikku dengan cairan kental putih, mengalir turun
membasahi dada dan perutnya juga. Aku merosot bersandar pada meja di
belakangku. “Mmm… Kakak selalu ga tahan kalo digituin,” kata Vany seraya
menjilat sisa sperma di sekitar mulutnya. Ia kembali duduk di atas
meja, dan dengan ekspresi polos Vany mengusap dan meratakan cairan
kental yang melumuri perut dan dadanya yang montok itu, seolah spermaku
sejenis krim; pemandangan yang membuat penisku tak menjadi lemas
sedikit pun. Aku berdiri perlahan, melumat bibir adikku dengan nafsu,
mendorongnya hingga terlentang di atas meja. Vany tersenyum. “Ayo, Kak…
Langsung aja…” pintanya lembut. Aku tersenyum dan menurutinya. Kubuka
kancing rok SMP adikku, membukanya dan membiarkannya merosot ke lantai
batu. Perlahan, aku menarik celana dalamnya yang basah kuyup dan
melepasnya. Vany mengangkat kedua pahanya yang montok dan mengangkang
lebar-lebar di depanku. Aku meletakkan penisku di bibir vaginanya yang
tembem dan mulus dengan bulu yang sangat halus. Perlahan, kumasukkan
kepala penisku yang merah padam ke dalamnya. Vany menggrunjal sedikit.
“Mmhh… Kakk…” desahnya, menggeliat merasakan batang penis kakaknya
perlahan-lahan memasuki vaginanya yang sempit dan hangat hingga mentok.
Tanpa menunggu lagi, aku segera menghujam-hujamkan penisku ke dalam
tubuh Vany. Adikku menggeliat, mendesah, mengerang keenakan setiap kali
penisku bergerak masuk, semakin lama semakin cepat. “Ohh… Nnhhh… Vann..
Vann… Vanny…” kataku berulang-ulang. Vaginanya yang becek dan lembut
benar-benar nikmat membungkus penisku. “Ahh.. Aaahh… Ahhh Kakk..
Nnggghh!!” Vany mengerang, satu tangan mencengkeram pundakku, yang lain
mengelus perutnya yang buncit. Kuremas dadanya kuat-kuat hingga susunya
menyemprot, kumainkan puting kirinya yang sensitif dengan jemariku,
membuat Vany memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya menahan
rangsangan. “Oohh.. Kakk.. Kak aku ga bosen bosen digituin.. Ahhh…”
desahnya. Keringat membanjiri tubuh kami. Gerakan pinggulku semakin
cepat menghujam vaginanya. Nafas kami memburu. Penisku berdenyut-denyut,
menghantam-hantam mulut rahimnya yang sedang mengandung anakku.
“Aaahh.. NNhhh!! Ooh Kakk.. Kakak… Mmmnhh!! Aaahh…” Vany menggeletar,
badannya semakin menegang. Ia mengapitkan kedua kakinya ke pinggangku.
Vaginanya mengencang, menjepit penisku lebih kuat lagi. Aku tahu Vany
sudah tak tahan. “Van… Vann tunggu bentar Kakak juga.. Nnggghh juga udah
mau keluarr…” “Ga ku.. kuattt… Kaaaakk… KKkk… Aaaahhh…!!!” Vany
orgasme dan squirting berkali-kali kencang sekali hingga aku harus
mencabut penisku dari vaginanya. Tubuh mungil adikku gemetar hebat
sekali setelah itu, tapi aku benar-benar belum puas menikmatinya;
padahal tadi sudah tinggal sedikit lagi aku mencapai klimaksku juga.
Tanpa menunggu lama, aku segera memasukkan lagi penisku ke dalam
vaginanya, dan kembali menggenjot adikku dengan nafsu. “Aahh.. Hhh..
Kakk.. Kakkk nafs.. nafssuu banget de…hhhH!.. Aaahh pelan-pelan kakk..”
desah Vany tak karuan. Tangannya mencengkeram tepi meja, susu
menyemprot dari putingnya, dadanya yang super besar dan perutnya yang
buncit berguncang-guncang seirama tusukan penisku. “Mnnhh.. Vann..
Vanny kuarin jurus kamu donk… Nngghh…” pintaku. Vany mengangguk,
wajahnya menegang, berkonsentrasi, dan sebentar kemudian serangan itu
datang! Penisku serasa seperti diserang bergelombang-gelombang pijatan
bertubi-tubi. Ini dia yang kutunggu. “Oohh… Vaann.. Vannyy!!! VANNN!!!”
Aku meledakkan spermaku berkali-kali ke dalam rahimnya. Nikmatnya tak
dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku memejamkan mata, menahan nafas,
membiarkan spermaku terus keluar hingga bulir terakhirnya di dalam
tubuh Vany. Kucabut penisku, dan segera terlihat cairan putih kental
yang mengalir perlahan dari dalam vagina adikku, melumuri anus dan
menetes ke meja. Aku merosot, tersengal mengatur nafas, duduk bersandar
pada meja di belakangku. Penisku ngilu rasanya, tapi seperti biasanya,
belum menunjukkan tanda-tanda melemas setelah dua kali keluar. Tubuhku
tak pernah puas menikmati Vany. Saat itu Vany turun dari meja,
menegakkan dirinya, dan berjongkok persis di depanku. Vaginanya yang
basah kuyup, masih meneteskan spermaku, berada beberapa senti di atas
kepala penisku. “Lagi, Kak… Aku belom puas… Tanggung jawab…” perintah
Vany sambil mendekatkan wajahnya padaku. Aku tersenyum, melumat bibir
mungilnya lembut. Tanganku merogoh ke pantatnya yang montok,
membimbingnya turun. Vaginanya membungkus penisku erat saat Vany
menurunkan pinggulnya perlahan. Hangat dan lembut sekali rasanya. Vany
mulai bergerak naik-turun perlahan; perutnya yang buncit dan mulus
menggesek perutku setiap kalinya. “Nnhh.. Mmhh… Vannn.. Enak banget..
Mmhh…” desahku. Vany menikmati sekali posisi ini. Ia memejamkan mata,
menggigit bibirnya. Tanganku bergerak, meremas-remas pantatnya yang
montok dan padat sambil membantunya bergerak naik-turun. Dada Vany yang
besar menekan dadaku, membuat susunya mengalir keluar dan membasahiku.
Kucium, kujilat leher adikku dengan nafsu. “Aaahh.. Kakkk… Kenapa
posisi ini enak.. Bangett sihh… Nnhhhh” desahnya. Ia mencium pundak dan
leherku, tangannya mencengkeram erat punggung kakaknya. Aku
mempercepat genjotanku ke dalam vaginanya. Vany mengerang, menekankan
kepalanya ke pundakku. “Kakk… Kakak… Nnnnnhhh…” “Mau keluar, Yang??”
Vany mengangguk liar, memelukku semakin erat. Aku dapat merasakan
vaginanya menyempit, menjepit penisku kencang-kencang. Aku menusukkan
penisku lebih cepat dan kuat. Vany menggelengkan kepalanya.
“Mmmmmmmmnn… Nnnnn… NNNHHaaaaaHH!!!” Dengan lenguhan panjang Vany
orgasme untuk ketiga kalinya siang ini. Aku dapat merasakan cairan
vaginanya yang dingin meledak keluar, menyiram penis dan pahaku.
Susunya pun menyemprot banyak membasahi dadaku. Kucabut penisku dari
vaginanya dan mengarahkannya ke dalam anus adikku. Vany menjerit kecil
ketika penisku menerobos anusnya yang luar biasa sempit dan mulai
menghujam dengan kuat ke dalamnya. Ini enak sekali. Aku merosot hingga
tiduran di lantai, sementara Vany terduduk di atasku, bergerak sesuai
irama genjotanku. Dadanya berguncang-guncang menggiurkan. “Aaahh… Ahh
Kakk.. Nnhhh… Kakk… Mmhh..” desah Vany sambil mengelus perutnya. Tangan
kirinya meremas dan memainkan dadanya sendiri, menyemprot-nyemprotkan
susu keluar. Kucengkeram pantat Vany. Anusnya sangat ketat menjepit
penisku, membuatku tak bertahan lama. “Van.. Ohh.. Hhh.. Hhh… Vannn
Kakak mau keluarr…” “Kak… Kakk… Kakk.. Nnhh Nnhhh… Akuu jugga…
MMmmhhhHH…” “Nngghh.. Vann.. Vannyy… Vannyyy!!! VANNNY!!” Aku
mengerang, tapi Vany ternyata telah mencapai puncaknya terlebih dahulu.
Ia menjerit kencang dan squirting kuat-kuat membasahi pinggang dan
pahaku, anusnya menyempit lagi. Sedetik kemudian aku orgasme,
meledakkan spermaku banyak-banyak ke dalam anus adikku. Vany roboh ke
atasku, terengah, tersengal. Tubuh kami bersimbah keringat. Penisku yang
telah lemas kucabut dari anusnya, membuat spermaku meleleh keluar dari
dalamnya. Vany berguling turun dan duduk bersandar ke meja di
sebelahku, matanya terpejam; dadanya bergerak naik-turun, berusaha
mengatur nafas. “Hh.. Thanks Van…” bisikku setelah beberapa lama. Vany
mengangguk lemah, lelah. “Sama-sama…” katanya. Kami terdiam. Aku
mendudukkan diri, melirik arloji, jam 4.15… Harusnya Cherry sudah
selesai. Aku menoleh ke adikku, perlahan aku meraba dadanya yang besar.
Kudekatkan mulutku ke putingnya dan mulai menyedot susu yang manis
dari dalamnya. Vany nyengir dan mendengus tertawa. “Kak… Belum capek
apa? Ntar aku jadi terangsang lagi loh…” katanya lembut. Ia membelai
rambutku. “Mmm… Cuma mau minum koq, Yang…” bisikku. Vany tersenyum.
Tanganku mengelus perutnya, mulus sekali, enak sekali. Saat itu
tiba-tiba aku mendengar suara pintu dibuka perlahan. Hatiku mencelos.
Aku menatap Vany, melihat ketakutan dan keterkejutan yang sama di mata
adikku. Kami membeku di tempat. Panik. Tak akan sempat kami memakai
pakaian kami. Langkah kaki perlahan mendekat, semakin jelas. “Astagah
Diitt… Udah gue duga lu bakal di sini!!” Aku hampir pingsan karena
lega. Cherry, sahabatku, berkeringat dan terlihat lelah tapi senang,
berdiri bertolak pinggang di hadapanku dan Vany. “Duh Cher… Lu bikin gw
jantungan,” ujarku lega. Vany telah tertawa terbahak-bahak di
sebelahku. “Lagian lu kacau sih… Hai, Van!” kata Cherry geli. Ia
melambai ke arah Vany, yang segera berdiri dan memeluk Cherry erat.
“Apa kabar, Cher??” ujar Vany riang. “Baik banget… Wah kamu udah gede
banget!” kata Cherry sambil menatap perut adikku. Vany tertawa. “Iya
donk udah 5 bulan… Salahin dia nih!” ujarnya sambil menunjukku. Cherry
tertawa, membelai perut buncit Vany dengan lembut. Heran, koq bisa ga
canggung sama sekali sih? “Yang ini juga gede banget, Van… Bagi-bagi
donk!” ujar Cherry sambil meremas dada Vany yang memang super besar.
“Eehh!! Cherry!!” seru Vany sambil tertawa dan menghindar. “Heh..
Udah-udah ayo pulang,” kataku sambil memakai celana dan kaosku lagi.
Vany mengambil sehelai kaos dan celana pendek dari tasnya dan
mengenakannya perlahan. Kami bertiga berjalan ke arah tempat parkir.
Tiba-tiba Vany nyeletuk. “Cher, kamu… Agak beda deh,” “Hm? Beda gimana?”
“Ya kan Cher! Emang gw ngerasa agak ada yang lain dari lu…” ujarku
setuju. Vany mengangguk. Rupanya Vany juga melihat ada sesuatu yang aneh
dari Cherry. Anehnya, sekali lagi Cherry hanya tersenyum simpul penuh
arti. * * * Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Terminal 2
Keberangkatan Sabtu, 3 Januari 2009 – 15.00 WIB. “Sampe ketemu, Ma…”
“Ya… Ati-ati ya… Jaga adikmu baik-baik. Bulan depan Mami-Papi kesana.”
Ayah-Ibuku memeluk dan mencium kedua anaknya. Hari ini aku, Vany, dan
Cherry akan berangkat ke Singapore. Vany akan tinggal di sana bersamaku
hingga setelah melahirkan. Kami melambai dari balik pintu kaca yang
memisahkan kami dari Ayah dan Ibu, dan mulai berjalan perlahan menuju
ruang tunggu. “Hmmm… Tinggal di luar negri sendirian enak ga, Kak?”
tanya Vany, mengenakan baju terusan warna pink muda ditutupi jaket
Adidas putih. Ia berjalan sambil membelai perutnya yang semakin besar,
memasuki bulan keenam sekarang (Aku berusaha mengalihkan pandanganku.
Celanaku terasa menyempit). Kami sudah tahu bahwa anak yang di dalam
kandungan Vany berjenis kelamin perempuan, dan entah kenapa Vany sangat
ingin menamainya Ella. “Ya ada enaknya ada enggaknya… Tapi kamu kan ga
sendirian,” kataku. “Ada Kakak…” “Ada aku juga…” ujar Cherry riang.
Vany tertawa. “Hahaha iya sih…” Kami berjalan menuju ruang tunggu.
Sambil berjalan, aku tak dapat melepaskan pandanganku dari sahabatku.
Sungguh, ada yang lain darinya, tapi aku tak dapat menemukan apa. Jelas
Cherry terlihat agak menggemuk setelah sebulan di Jakarta, tapi itu
wajar karena aku pun menghabiskan sebulan ini untuk makan makanan yang
enak-enak di kota kelahiranku. Apa ya? Apa pantatnya tambah montok? Aku
jarang bertemu dengan sahabatku ini selama sebulan terakhir, karena
kami masing-masing sibuk dengan urusan kami sendiri. Kami bahkan tidak
ML sama sekali selama di Jakarta. Aku menatapnya makin tajam,
menyelidiki. “Heh, lu ngapain ngeliatin gue sampe kayak gitu?” hardik
Cherry. “Cher… Lu… Seriusan deh ada yang laen. Apa ya?” Kali ini Cherry
nyengir lebar, nyaris tertawa. Tapi heran sekali, Vany juga ikut
nyengir! “Ahh Cherr!! Van! Kalian apaan sih kasi tau donk ada apa!”
pintaku tak sabar. Tak kuduga, Vany yang menjawab. “Ella kan bakal
punya adik, Kak…” ujarnya riang. Aku melonjak kaget. “HAH?! Hah jangan
bercanda kamu, Van!!” aku memelototi sahabatku. “Lu… Lu hamil??” Cherry
nyengir, mengangguk. “Udah 3 bulan…” katanya sambil membuka retsleting
hoodie tebalnya. Ternyata benar, memang perutnya terlihat buncit dari
balik tank top kuningnya. “… Anak lu juga, Dit. Pasti.” “Minggu lalu ke
Tante Rina sama aku,” jelas Vany. “Tantenya sampe geleng-geleng waktu
tau ini anak Kakak juga…” Aku tak dapat berkata apa-apa. Bagaimana ini?
Cherry juga hamil anakku? “… 3 bulan, Cher?” tanyaku gelagapan. Cherry
mengangguk, tersenyum manis seperti biasanya. Berarti… Berarti sekitar
awal-awal aku tahu bahwa adikku juga hamil, sekitar akhir September.
Wah ini kacau! Tiba-tiba aku sadar akan suatu keanehan. Sekali lagi aku
mengamati perut Cherry yang buncit. “Cher, 3 bulan kata lu?” “Ya. Napa
mank?” “Koq udah segede itu? Waktu Vany hamil 3 bulan gue liat dari
webcam belum begitu keliatan bedanya,” tuntutku. Cherry nyengir, Vany
tertawa terbahak-bahak. Astagah ada apa? “… Kan kembar, Dit…”
“KEMBAR??!!” Tamat
Labels:
Cerita Seks
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment